Cerpen Cinta 2017 Terbaru Paling Romantis

Cerpen Cinta 2017 Terbaru Paling Romantis. Blog Remaja gaul kali ini menulis sebuah cerpen cinta terbaru 2017 yang diberi judul Tulisan di Secarik Kertas.
Cerpen Cinta 2017 Terbaru Paling Romantis
Cerpen Cinta 2017: "Tulisan di Secarik Kertas"

Seharusnya aku bisa mengerjakan satu saja dari beberapa soal kimia di depanku. Mana mungkin teori-teori yang sudah kupaksa masuk ke otakku bisa tak berbekas sama sekali? Jika sudah begini, seperti biasa, mataku mencari-cari satu dua orang sukarelawan yang mau membagikan sedikit ilmunya kepadaku. Mataku menangkap sosok kurus berkacamata, Tedi.

Tapi aku segera membatalkan niatku sendiri. Dia memang jago kimia, tapi menolong tanpa pamrih bukanlah sifatnya. Masa untuk satu soal saja dia minta traktir di sebuah restoran Jepang! Akhirnya aku pilih Wida. Dia cewek yang lumayan pintar, dan selalu baik kepadaku.

“Wid…,” aku berbisik setelah yakin situasi aman.

Wida menoleh dengan pandangan bertanya. Matanya sesekali melirik ke arah Pak Joko. Aku pun jadi terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.

“Nomor satu…,” aku masih berbisik.

Wida mengernyitkan keningnya. Mungkin dia tak mendengar. Aku akan mengulangi bisikanku lagi ketika suara bas Pak Joko memecah ruangan, “Nomor satu katanya, Wid!”

Wida kaget.

Aku apalagi.

Hari yang menyebalkan. Semua terasa menjengkelkan. Tadi pagi aku kesiangan sehingga Pak Guru Piket memberi ceramah tambahan yang sempat membuat mukaku merah padam. Ditambah lagi ujian yang ancur-ancuran. Ujian kimia, tapi aku malah membuat sebuah prosa argumentasi dalam kertas ujianku.

Kulirik jam tanganku. Dua belas lebih empat puluh lima. Ah, waktunya pulang. Satu persatu kumasukkan alat-alat tulis ke dalam tas hijauku. Buku ada. Pulpen ada. Penghapus ada. Apa lagi? Aku membungkukkan badan, melihat-lihat siapa tahu ada barang milikku yang tertinggal di bawah meja. Hm, gak ada.

Anak-anak sudah separuhnya keluar. Dengan perasaan puas, aku pun mengikuti mereka. Melewati meja Tia, mataku jatuh pada secarik kertas di atasnya. Penuh dengan coretan-coretan. Hh, dasar pelajar teladan. Mungkin ujian kimia tadi terlalu mudah baginya sehingga sisa waktunya dia pakai untuk membuat coretan-coretan seperti itu. Tapi detik selanjutnya, aku benar-benar kaget. Seperti tak percaya pada penglihatan dan kemampuan membacaku, aku kembali mengamati rangkaian huruf yang tertulis di kertas. Kali ini dengan lebih saksama. Tia Nugraha. Apa maksudnya? Apa maksudnya merangkaikan nama depannya dengan nama belakangku? Jangan-jangan….

Cepat kusambar kertas itu.

***

Tia seorang idola di sekolahku. Dia pintar, cantik, ramah, dan pandai bergaul. Hampir semua orang, apalagi cowok, menyukainya. Malahan aku pikir, jika seluruh cowok di negera Indonesia ini mengenalnya, mereka pasti menunjuk Tia sebagai idola mereka. Sepertinya berlebihan, tapi itulah Tia. Tak ada yang tak mengenalnya. Tapi tidak semua orang suka padanya, tentu saja. Ada segelintir orang, lebih-lebih cewek yang merasa kepopularitasannya terancam karena Tia.1 Nah, orang-orang seperti ini menganggapnya sebagai orang yang patut dijadikan musuh.

Tapi aku termasuk orang yang menyukainya. Sangat, malah. Namun itu terjadi beberapa bulan lalu saat aku baru mengenalnya. Dua minggu kemudian aku tahu, seluruh sekolah pun menginginkannya! Sejak saat itu aku merasa Tia terlalu jauh untuk dijangkau. Dan aku lebih suka menyimpan rapi perasaanku. Bukannya tak percaya kepada diriku sendiri, tapi aku cukup bisa mengukur siapa aku. Banyak yang lebih pintar, lebih keren, dan lebih bisa menyenangkan hatinya. Semuanya sudah cukup untuk membuatku mundur teratur.

Setelah membaca tulisan di secarik kertas itu, gairahku melompat-lompat dalam keseluruhan diriku. Setelah kubaca berulang-ulang di kamarku yang terkunci, aku benar-benar yakin dia menulis: Tia Nugraha. Rangkaian namanya sendiri dan namaku.

Malah dia menulis beberapa kali lagi di bawahnya. Mungkin mencari bentuk tulisan yang bagus. Tahu artinya? Ada orang bilang, kalau kita sedang melamun, tanpa sadar tangan kita akan menggambar atau menulis sesuatu yang kita suka. Jadi kalau kita suka seseorang, kita akan menulis namanya. Apakah itu yang terjadi pada Tia? Rasanya tak percaya. Tapi, kenapa tidak? Aku pikir aku cukup hebat untuk seorang Tia.

***

Pagi-pagi, lebih pagi dari biasanya, aku sudah menghirup udara sekolah, dengan baju dan rambut yang juga lebih rapi dari biasanya. Dan seperti yang sudah kuduga, Tia telah tiba. Duduk manis, tetapi tidak lebih manis dari biasanya. Wajahnya seperti yang kebingungan.

“Hai,” aku mulai berlagak stil keren2, “kok kayak yang bingung?”

“Eh, anu….”

“Nama saya Adi, bukan Anu. Adi Nugraha,” sengaja aku agak mengeja kata terakhir. Dan, hoho… dia terkejut! Mukanya mulai memerah.

“Eh, Di. Anu… liat kertas nggak?” Tia mulai menguasai kegugupannya.

“Kertas?”

“Iya. Kemaren ketinggalan di meja ini. Tapi sekarang udah nggak ada.”

Aku memasang tampang bingung.

“Kamu liat nggak?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng, “Mungkin udah dibersihin sama Bang Pendi.”

Tia diam sebentar seperti berpikir. “Iya… mungkin juga.”

“Kertas apaan sih?” tanyaku, innocent.

“Ah, bukan kertas apa-apa. Ya udah, kalo gak ada.” Dia beranjak dan sesaat kemudian menoleh kembali dengan wajah cemas, “Kamu nggak ngambil?”

Aku kembali menggeleng. Masih dengan tampang innocent.

Akhirnya dia berlalu, dan aku tersenyum dalam hati.

Hari ini kulewati dengan keriangan yang sempurna.

***

Udara cukup panas, dan aku pun cukup punya alasan buat mengajak Tia mampir ke sebuah kedai minuman. Segelas es jeruk mungkin bisa mengurangi rasa haus. Dan mungkin juga bisa mengurangi pesaing-pesaingku. Aku yakin, Tia tak bakalan menolak.

“Nggak?”

“Iya, nggak bisa. Siang ini saya harus nganter mama ke Tante Dewi. Lain kali aja,” Tia tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan wajah kecewaku.

Aku benar-benar tak habis pikir. Seharusnya dia gembira dan menyambut baik ajakanku tadi. Atau kalaupun dia tak bisa memenuhinya, dia akan merasa kecewa. Tapi aku tak melihat semuanya itu pada wajahnya sedikit pun. Biasa saja.

Aha. Mungkin dia merasa tak enak untuk bersedia pada tawaran pertamaku. Masuk akal, bukan? Tia memang idola. Harga dirinya akan sedikit jatuh jika dia begitu mudah diraih.

Aku tersenyum. Sebuah awal yang mengasyikkan.

Waktu berlalu. Sudah sekitar tiga minggu sejak kejadian itu. Tapi aku belum merasa yakin tentang peraaan Tia yang sebenarnya. Aku masih bingung dengan penolakan-penolakannya. Meski dia lakukan dengan sangat halus, aku tetap merasa ditolak mentah-mentah. Sampai saat ini, belum pernah aku melewatkan waktu berdua dengannya. Kecuali satu kali. Itu pun ketika aku secara kebetulan melihatnya duduk sendirian di kantin, sepulang sekolah. Tentu saja dia tidak bisa menolak orang yang sekadar ingin duduk di depannya. Tapi itu berlalu begtu saja. Tak ada yang istimewa.

Aku mulai ragu-ragu dengan keyakinanku sendiri. Aku mulai ragu-ragu tentang perasaan Tia sebenarnya. Tapi segera kuhalau semuanya. Tuilsan di secarik kertas itu sudah cukup menjadi bukti yang kuat bagiku: Tia suka padaku!

Akhirnya kesempatan itu tiba. Tiga minggu sudah terlalu lama untuk menyimpan semuanya. Kulihat Tia duduk sendiri menikmati semangkuk bakso yang sudah habis setengahnya. Cepat aku mengambil tempat di depannya. Kubiarkan mangkuk itu kosong sebelum akhirnya aku memulai tujuanku. Ketika aku mengucapkan kalimat pertamaku, aku merasa semua air di tubuhku keluar lewat kulitku.

Lima menit yang melelahkan. Tapi aku merasa sedikit lega. Dengan tersenyum aku balas pandangan mata Tia yang tak bisa menyembunyikan kagetnya.

Tia diam sebelum akhirnya tersenyum, “Terima kasih, Di,” katanya. “Saya merasa tersanjung.”

Aku menahan napas.

“Tapi,” lanjutnya, “saya nggak bisa melewati hari-hari bersamamu seperti yang kamu harapkan.”

Aku diam dalam kagetku. Tiba-tiba aku teringat tulisan itu. Ah, Tia. Sebegitu gigihnyakah dia mempertahankan harga dirinya? Sudahlah, jangan main kucing-kucingan. Aku sudah tahu hatimu, Tia.

Sebuah senyuman mengembang dalam hatiku saat aku bertanya, “Kenapa?”

“Saya sudah cukup bahagia dengan hanya seorang laki-laki di sampingku.”

“Kamu sudah punya pacar?”

Tia mengangguk.

“Siapa?”

“Kamu mungkin nggak mengenalnya. Dia lagi kuliah di Sydney.” Akhirnya dia menjawab juga setelah menatapku dengan pandangan antara curiga dan heran.

“Siapa…?”

Dengan wajah tak senang, dia memandangku dan menyebutkan sebuah nama, “Wisnu.”

“Wisnu?”

“Iya. Wisnu Nugraha.”

Aku terdiam.

---***---